Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani
disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan
bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang
sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan
mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat
berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila
generasi-generasi setelahnya merasa berhutang budi padanya, termasuk
juga umat Islam pada abad pertengahan masehi bahkan hingga sekarang.
Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat Yunani rasanya sulit
bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang
Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh
umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka
yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju dan
mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola
pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah
kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati
dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani
merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah
titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus
mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah
Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos
(540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales,
yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam adalah air.
Menurut Anaximandros substansi pertama itu bersifat kekal, tidak
terbatas, dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air atau
tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah.
Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya,
melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan
Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan
yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat
bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama
ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai
hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika. Jadi setiap
filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta.
Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru
merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka
mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi
terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam
dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka,
manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras
(481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal
humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif.
Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika,
maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai
kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM).
Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi.
Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal
kita telah diperdaya oleh dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan
kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat
berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama,
dan metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof
setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran
obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan
dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran
universal dapat ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang
ada di alam idea. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada
di alam idea. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan
Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada
hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika,
ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi
klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu
karena mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Karena demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato
dan Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap
filsafat sesudah masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan
usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran mereka. Pendapat Whitehead
tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain mengembangkan
filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa persoalan
filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
Ilmu Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan
teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang.
Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa
pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional
berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu
dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani
yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman
Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia
(Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria,
dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat
sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900
M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat belajar
yang paling penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-Rashīd dan
penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam
ini, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa
yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan
agar menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa
terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan
secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M).
Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus penerjemahan.
Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat banjir penerjemahan
besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad kesembilan
dan sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku matematika dan astronomi adalah buku-buku yang pertama kali
diterjemahkan. Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus) merupakan
tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis
algorisme diambil dari namanya. Dia memberi landasan untuk aljabar.
Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah
rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan
desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab.
Al-Khawārizmī dan para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk
menjalankan operasi-operasi matematika yang secara aritmatis mengandung
berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan akar kuadrat dari satu angka.
Di antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn
al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori
Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual memancar dari
mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa
cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang astronomi,
al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang luar
biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan
observasi-observasinya tentang gerhana telah digunakan untuk
tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain al-Battānī, ada
Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī (Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ
dikenal karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang
astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn
al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī
atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau
Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar (w. 1161 M).
Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria,
India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi
klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of
Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya
merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī
(362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya.
Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang
belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari
beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi, karya orang Arab mencakup
gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang, dan batuan.
Beberapa di antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya
tersebut dihubungkan dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga
menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M),
Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah
atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn
Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī
berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit,
yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh
al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains
Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia
tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan
asing. Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat
Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah
berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa
sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada
sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang
keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para
pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di
Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang
Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka
yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya
zaman pencerahan atau renaisans.
Ilmu Pengetahuan Zaman Renaisans dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan
istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini
untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di
Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan,
zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad pertengahan
berakhir tatkala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap
bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Renaisans
adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan
era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung
arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains
berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen
semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Tokoh penemu di bidang sains pada masa renaisans (abad 15-16 M):
Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Johanes Kepler (1571-1630 M), Galileo
Galilei (1564-1643 M), dan Francis Bacon (1561-1626 M). Copernicus
menemukan teori heliosentrisme, yaitu matahari adalah pusat jagad raya,
bukan bumi sebagaimana teori geosentrisme yang dikemukakan oleh
Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi memiliki dua macam gerak, yaitu
perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi
matahari. Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta,
terutama astronomi. Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang
terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah yang menemukan bahwa orbit planet
berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat bila berada di dekat
matahari dan lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli astronomi
Italia yang melakukan pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan
Copernicus bahwa tata surya berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan
penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi astronominya. Dia juga
berjasa dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan percepatan.
Dialah penemu planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad
17-19 M): Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph
Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent
Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson. Newton adalah penemu teori
gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam.
Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan
astronomi. Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang amat
menarik. Black adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu
gas CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen yang
antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar
ilmu kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan
elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom
adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika
yaitu fisika nuklir. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan
ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara
pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi,
palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya,
ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar